Kamis, 21 Mei 2015

KASAMBU

Adalah salah satu ritual daur hidup yang wajib dilaksanakan oleh masyarakat Muna. Bagi masyarakat umum, ‘kasambu’ dikenal dengan penyebutan ‘tujuh bulanan’. Memang, acara kasambu adalah ritual yang dilakukan terhadap seorang perempuan yang kandungannya telah berusia tujuh bulan.
Ritual kasambu dilakukan, diawali dengan ‘kakadiu’ yakni memandikan si ibu -–yang mengandung— bersama suami. Pertama-tama, keluarga istri dan/atau suami akan mengupas dua buah kelapa. Satu kelapa akan diparut untuk diambil santannya untuk digunakan sebagai shampoo bagi istri dan suami. Sedangkan kelapa yang lain akan dibelah dua di atas kepala suami dan istri ketika duduk bersama di atas lesung setelah dimandikan.
Suami istri –-masing-masing hanya memakai sarung Muna— akan duduk berdampingan di atas lesung menghadap ke Barat sementara imam yang dibantu bhisa, ibu perempuan/pelaku tradisi yang dipercaya akan membagi tugas dalam memantrai air dan santan. Imam akan memantrai air mandi dan bhisa akan memantrai santan. Kemudian sepasang laki-laki dan perempuan yang orang tuanya masih lengkap –-bukan yatim/piatu— atau keduanya yatim piatu akan bergantian melakukan ‘kunde’ [mencuci rambut dengan santan] secara bergantian kepada suami istri objek kasambu. Perempuan akan meng-kunde istri dan laki-laki akan meng-kunde suami.
Selanjutnya imam akan menyiram air di kepala suami sebagai tanda dimulainya kakadiu. Imam menyiram kepala suami dan suami disyaratkan menepuk air tersebut sebanyak tiga kali dengan tangan kanan. Selanjutnya imam menyiram istri untuk melakukan hal yang sama yakni menepuk air tiga kali. Lalu imam akan menyiram suami dan istri secara bergantian sampai selesai.
Setelah itu –-suami istri masih duduk di atas lesung— akan menghadap ke Timur, imam akan menyiram suami dan istri secara bergantian tentu saja diawali dari suami selanjutnya istri secara bergantian yang syaratnya menepuk air sebagaimana halnya yang dilakukan sebelumnya.
Setelah mandi, imam akan membelah kelapa dengan parang di atas kepala suami istri. Air kelapa tadi akan disiram lagi di atas kepala suami istri sampai habis. Kemudian kelapa akan diberikan pada bhisa. Oleh bhisa, kelapa tersebut ditepuk kemudian dijatuhkan ke lantai. Kelapa tersebut diusahakan untuk tengadah karena akan dipungut oleh sepasang laki-laki dan perempuan tadi dengan menggunakan mulut secara bergantian. Acara mandi selesai, bhisa akan mencungkil pantat suami-istri secara bergantian dimulai dari suami dengan menggunakan parang yang dipakai membelah kelapa. Suami-istri kemudian berpakaian untuk melaksanakan prosesi puncak kasambu.
Prosesi kasambu akan dilakukan dalam ruangan terluas pada bagian rumah yang mengadakan kasambu. Biasanya di ruang tamu. Para ibu yang datang membantu, akan menyiapkan haroa kasambu. Sebagaimana haroa pada umumnya dalam ritual di Kabupaten Muna.
Dalam kehidupan masyarakat etnis Muna, haroa berisi lapa-lapa, ketupat, ayam goreng, ayam gulai, telur, pisang, cucur, wajik, sirkaya, dan lain-lain. Haroa akan dikumpulkan pada talang besar berkaki untuk dibaca-baca oleh imam sebelum dimakan. Ketika dibaca-baca, haroa akan ditutup dengan kerudung atau kain putih. Setelah haroa-nya siap, maka akan diangkat dan dibawa di tempat pelaksanaan puncak kasambu.
Kali ini, suami-istri duduk di atas bantal ketika prosesi baca-baca. Selanjutnya imam akan memimpin pembacaan doa dan diikuti oleh semua yang hadir. Pembacaan doa selesai, maka kasambu akan dilakukan oleh bhisa. Bhisa mengambil lauk ­telur atau ayam­ lalu akan menyuap suami. Suami diwajibkan menggigit telur ayam ayam sedikit saja lalu dibuang ke belakangnya sebelah kiri. Hal ini dilakukan sebanyak tiga kali, lalu kemudian suami akan memakan telur atau ayam tersebut. Setelah itu, bhisa akan mengambil lapa-lapa atau ketupat untuk di-sambu-kan kepada suami. Kali ini tidak ada yang dibuang.
Setelah itu, giliran istri, sama halnya yang dilakukan kepada suami, bhisa menyuap istri dengan telur atau ayam dan membuangnya tiga kali ke belakang sebelah kiri sebelum dimakan, selanjutnya istri disuapi lapa-lapa atau ketupat.
Setelah bhisa, kini giliran ibu-ibu lain, ­biasanya orang tua istri atau suami­ yang melakukan sambu kepada suami dan istri. Ibu akan memilih salah satu isi haroa. Tidak seperti yang dilakukan oleh bhisa, kali ini suami dan istri akan langsung menelan makanan yang diberikan. Demikian kasambu dilakukan sampai dua atau tiga orang ibu yang datang di tempat diadakannya kasambu. Kasambu selesai diakhiri dengan bhisa yang kembali mencungkil pantat suami-istri dengan parang yang dipakai sebelumnya lalu dilakukanlah makan bersama.

Tujuan dan Manfaat serta Makna Kasambu
     Segala ritual prosesi adat daur hidup dilakukan tentu saja dimaksudkan untuk hal-hal tertentu. Demikian halnya dengan kasambu yakni dilakukan untuk memberi makan kepada suami-istri dengan makanan istimewa, yang tidak dapat disiapkan sebagai makanan sehari-hari. Pelaksanaannya pun tidak dengan makan seperti biasa. Kasambu dilakukan dengan menyuap suami-istri yang sedang mengandung dengan usia kandungan tujuh bulan.
     Hal ini dimaksudkan untuk memberi nutrisi kepada suami, istri, dan yang paling penting adalah calon bayi yang dinanti-nantikan baik oleh orang tua, nenek, maupun keluarga pada umumnya.
     Bagi masyarakat Muna, kasambu bukan hanya memberi nutrisi dari segi fisik tetapi juga nutrisi atau imunisasi dalam ‘bentuk’ yang berbeda, yakni nutrisi keinginan lahir dan batin yaitu memanjatkan doa-doa yang tentu saja harapan-harapan untuk kebaikan anak kelak setelah lahir.


Kendari,     Mei 2015



Jumat, 01 Mei 2015

BASA ISIFU

Adalah salah satu tradisi bagi orang Muna yang beragama Islam. Tradisi ini dilakukan pada bulan Sya’ban tahun Hijriah. Ia dilakukan dengan cara membaca doa yang dipimpin oleh imam tepercaya oleh masyarakat di sebuah desa. Biasanya prosesi baca-baca basa isifu dilakukan pada saat 13, 14, 15, 16, dan/atau 17 bulan di langit. Bergantung pada pemilik basa isifu.
Basa isifu dimiliki secara turun-temurun oleh masyarakat Muna tanpa diketahui siapa yang melakukannya pertama kali. Namun demikian, dalam silsilah keluarga, bila ada yang mengawali maka akan diturunkan ke anak atau cucu yang dipercaya dap
at meneruskan basa isifu.
Dalam melakukan baca-baca, pemilik basa isifu akan mengajak para tetangga. Tujuan diadakannya adalah untuk berdoa kepada Tuhan, Allah Yang Maha Kuasa untuk tiga permohonan, yakni umur panjang, rezeki, dan iman besar atau iman yang kuat kepa Tuhan Yang Maha Esa.
Yang unik dari pembacaan doa ini adalah cara berdoa selain menengadahkan tangan juga ditelungkupakn. Menurut masyarakat Muna, prosesi tangan telungkup berarti menelungkupkan segala keburukan yang ada di muka bumi ini dan tangan yang tengadah tentu saja untuk meminta kebaikan terutama untuk tiga permohonan tadi: umur panjang, rezeki, dan iman besar.
Selain itu, ada pula air yang disiapkan pada sebuah cerek untuk didoakan oleh imam, dan kemudian akan dibagi-bagi kepada warga yang datang. Ada yang mengisi di botol untuk dibawa pulang dan ada pula yang hanya membasuh wajah setelah baca-baca.
Tentu saja ada haroa dalam prosesi basa isifu sebagaimana tradisi baca-baca bagi orang Muna dalam tradisi lain pada umumnya.

Kini, kurang lebih sebulan lagi basa isifu dulakukan. Jadi teman-teman, bersiaplah untuk berdoa pada waktunya sambil berkumpul bersama keluarga sambil makan-makan: lapa-lapa, cucur, wajik, sirkaya, dan lain-lain.

Minggu, 05 April 2015

UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN DI MUNA

Pada bagian ini akan diuraikan tujuh unsur kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan tersebut yakni sebagai berikut:
1.  Peralatan dan  Perlengkapan Hidup Manusia
Perlengkapan dan peralatan hidup di Muna telah lengkap dan dapat digolongkan modern.  Hal ini dapat dilihat pada: pertama, cara masyarakat dalam berpakaian; kedua, perumahan; mereka meskipun tetap mempertahankan rumah panggung karena identitas daerah Muna dengan rumah adat berbentuk panggung namun warga selalu berusaha untuk membangun rumah batu yang disambung dengan rumah panggung tersebut. Selain itu ada pula warga yang membangun rumah bertingkat namun dapat dihitung dengan jari. Warga lebih tertarik membangun rumah yang luas karena lahan yang dimiliki rata-rata luas.
Ketiga, alat-alat rumah tangga yang digunakan mudah diperoleh dipasar-pasar tradisional. Keempat, alat-alat produksi seperti mesin jahit sebagain warga telah memilikinya selain beberapa warga masih mempertahankan budaya menenun sebagai ciri khas daerah. Kelima, alat transportasi yang digunakan telah memadai, seperti mobil dan kendaraan bermotor bila di darat, dan spead boad dan jonson sebagai kendaraan di laut yang menghubungkan antarpulau.
2.  Mata Pencaharian Hidup dan Sistem-Sistem Ekonomi
Mata pencaharian hidup di Muna bermacam-macam, yakni, petani, peternak, nelayan, pedagang, PNS, perwira polisi, dan tentara. Sistem pendistribusian dari hasil mata pencaharian ini tidak mengalami kesulitan karena antara satu dengan yang lain saling membutuhkan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu untuk mengirim barang-barang ke daerah di luar Muna banyak alat transportasi yang dapat disewa oleh para pelaku-pelaku ekonomi di daerah ini.
3.  Sistem Kemasyarakatan/Kekerabatan
Istilah kekerabatan sangat dikenal di daerah Muna. Istilah-istilah kekerabatan yang digunakan di Muna yakni idha, paapaa, ama, ina, awa, fokoidhau, fokopaapaa, fokoamau, fokoinau, kakuta/kabhera, isa/poisaha, ai/poaiha, pisa, ndua, ntolu, fokoanau, finemoghane, finerobhine, bhasitie, fokoawau, ana, kamodu, tamba, bhai, mosiraha, kamokula,abhi, mieno lambu, dan awantu/awa wangku.
a.   Idha adalah sebutan untuk ayah pada golongan La Ode dan Walaka;
b.  Paapaa adalah sebutan untuk ibu pada golongan Wa Ode dan Walaka;
c.  Ama adalah sebutan untuk ayah pada golongan maradika;
d.  Ina adalah sebutan untuk ibu pada golongan maradika;
e. Awa adalah sebutan untuk kakek, nenek, dan cucu untuk semua golongan;
f. Fokoidhau adalah sebutan untuk paman dari saudara laki-laki ayah dan/atau ibu pada golongan La Ode dan Walaka;
g. Fokopaapaa adalah sebutan untuk bibi dari saudara perempuan ayah dan/atau ibu pada golongan Wa Ode dan Walaka;
h. Fokoamau adalah sebutan untuk paman dari saudara laki-laki ayah dan/atau ibu pada golongan maradika;
i. Fokoinau adalah sebutan untuk paman dari saudara laki-laki ayah dan/atau ibu pada golongan maradika;
j. Kakuta/kabhera adalah sebutan untuk saudara kandung baik laki-laki maupun perempuan pada semua golongan;
k. Isa/poisaha adalah sebutan untuk kakak baik laki-laki maupun perempuan pada semua golongan;
l. Ai/poaiha adalah sebutan untuk adik baik laki-laki maupun perempuan pada semua golongan;
m. Pisa adalah sebutan untuk sepupu satu kali baik laki-laki maupun perempuan pada semua golongan;
n. Ndua adalah sebutan untuk sepupu dua kali baik laki-laki maupun perempuan pada semua golongan;
o. Ntolu adalah sebutan untuk sepupu tiga kali baik laki-laki maupun perempuan pada semua golongan;
p. Fokoanau adalah sebutan untuk kemenakan baik laki-laki maupun perempuan pada semua golongan;
q. Finemoghane adalah sebutan untuk saudara laki-laki pada semua golongan;
r. Finerobhine adalah sebutan untuk saudara perempuan pada semua golongan;
s.  Bhasitie adalah sebutan kepada keluarga yang hubungannya sudah jauh seperti sepupu empat kali atau ketika dua orang atau lebih bercerita lalu saling menanyakan asal dari mana kemudian menyebut nama kakek atau nenek di suatu daerah ternyata mereka yang bercerita itu merupakan keturunan dari nenek/kakek tersebut;
t.  Fokoawau adalah sebutan untuk nenek atau kakek dan cucu dari saudara pada semua golongan;
u. Ana adalah sebutan untuk anak baik laki-laki maupun perempuan pada semua golongan;
v. Kamodu adalah sebutan untuk besan baik laki-laki maupun perempuan pada semua golongan;
w. Tamba adalah sebutan untuk ipar baik laki-laki maupun perempuan pada semua golongan;
x. Bhai adalah sebutan kepada teman baik laki-laki maupun perempuan pada semua golongan;
y. Mosiraha adalah sebutan untuk tetangga atau orang yang sudah dianggap sebagai saudara atau keluarga sendiri pada semua golongan;
z. Kamokula adalah sebutan untuk orang tua baik orang tua kandung maupun orang tua pada umumnya, baik laki-laki maupun perempuan pada semua golongan;
aa. Abhi adalah sebutan pribadi antara dua individu atas kesepakatan sebelumnya. Misalnya Iman dan Ayu berteman lalu mereka menyepakati sebuah nama untuk penyebutan mereka. Anggap saja nama yang disepakati itu adalah ‘Shifa’, maka Iman akan memanggil Ayu dengan nama Shifa. Demikian pula dengan Ayu, ia akan memanggil Iman dengan nama yang sama yaitu Shifa;
bb. Mieno lambu adalah sebutan untuk suami atau istri pada semua golongan;
cc. Awantu/awa wangku adalah sebutan untuk cicit baik laki-laki maupun perempuan pada semua golongan.
4.  Bahasa
Bahasa yang digunakan di pulau Muna adalah bahasa Muna itu sendiri dan tentu saja bahasa Indonesia. Sekarang ini, baik di kota maupun di kampung-kampung di pulau Muna, masyarakat lebih cenderung menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan perkembangan teknologi seperti penggunaan HP, komputer dalam hal ini internet, dan frekuensi menonton acara televisi. Sejak kecil, anak akan dibiasakan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia sehingga mau tak mau nenek dari anak ini akan menyesuaikan agar tetap berinteraksi dengan cucunya.
5.  Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya)
Seperti halnya di daerah lain, kesenian di Muna bermacam-macam. Seni rupa yang terkenal dan kelihatan di Muna adalah seni mengukir gambol dan kerajinan mebel. Seni suara ada namanya tradisi kantola, modero, dan gambusu. Seni gerak ada tari-tarian seperti tari linda, tari pogala, silat Muna, dan Kontau.
6.  Sistem pengetahuan
Sistem pengetahuan masyarakat Muna telah memadai. Di mana sekolah-sekolah telah tersebar dari kota ke desa-desa. Tenaga pengajar pun dari kalangan terpelajar seperti sarjana, diploma, dan magister. Dalam hal berinteraksi antara pengajar dan pelajar tidak mengalami kesulitan karena satu sama lain saling mengerti dalam hal berbahasa.
7.  Religi (sistem kepercayaan)

Penduduk di Muna mayoritas memeluk agama Islam. Pada tahun 2005 jumlah mesjid di seluruh wilayah Kabupaten Muna sebanyak 350 buah, langgar/surau/mushallah 97 buah, gereja 24 buah, dan pura/vihara 22 buah.

Sabtu, 04 April 2015

STRATIFIKASI SOSIAL

Seperti halnya pada masyarakat tradisional lainnya, di daerah Muna pun dikenal adanya sistem strata sosial atau stratifikasi sosial. Couvreur1 memaparkan stratifikasi sosial di Muna sebagai berikut:
1)    Golongan kaomu dan walaka
Golongan kaomu berasal dari keturunan mantan sugi yang berkuasa di Muna dan gelarnya adalah La Ode bagi laki-laki dan Wa Ode bagi perempuan. La Oba2 menuliskan bahwa sugi yang ada di Muna terdiri dari lima yakni Sugi Patola, Sugi Patani, Sugi Ambona, Sugi Laende, dan Sugi Manuru. Istilah sugi ini diberikan kepada mereka yang memiliki kelebihan. Kelebihan yang dimaksud adalah kharismatik dalam menjalankan pemerintahan.
Golongan walaka berasal dari keturunan anak sugi dalam hal ini anak perempuannya (Wa Ode) yang menikah dengan laki-laki yang bukan keturunan sugi. Sehingga golongan walaka masuk dalam golongan tertinggi kedua di Muna.
2)   Golongan maradika
Golongan maradika terbagi atas tiga. Pertama, tingkat maradika tertinggi yakni maradika anangkolaki atau fitubhengkauno. Kedua, maradikano ghoera atau maradikano papara. Ketiga, maradika yang terendah yaitu maradika poino kontu lakono sau yang berarti maradika serupa sebuah batu sepotong kayu.
3)    Golongan wesembali
Golongan wesembali dikenal dua jenis yaitu la ode wesembali dan walaka wesembali. Mereka ini merupakan keturunan dari perkawinan yang terlarang yaitu keturunan Wa Ode dan walaka yang menikah dengan laki-laki dari golongan maradika. Perkawinan ini dilarang karena perempuan akan dikucilkan dari keluarga dan tidak akan mendapatkan hak waris dari orang tuanya.
4)   Kaum budak
Para budak ini berasal dari keturunan maradika yang dihukum menjadi budak karena berbuat kejahatan atau tidak melunasi hutang-hutangnya.

Keterangan:
1. Couvreur, J. 2001. Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna. (Rene van den Berg, penerjemah). Kupang: Arta Wacana Press.
2. La Oba. 2005. Muna dalam Lintasan Sejarah. Bandung: Sinyo MP.